Road to PhD

27 Juli (hari pertama)
28 Juli (hari kedua)

Untuk saya, jenjang pendidikan dan karir akademik bukan hal yang dekat, mungkin juga karena tidak ada orang tua saya atau saudara-saudara dekat yang berprofesi sebagai dosen. Ketika S1, saya tidak tau kuliah itu seperti apa, saya hanya menjalani saja sambil porsinya lebih banyak ke organisasi terutama kepecintaalaman. Waktu S2, saya berharap bisa banyak praktik di manajemen kesenian namun ternyata setelah masuk saya baru tau bahwa program yang saya ikuti lebih ke akademis atau ke pengetahuannya (bukan vokasi).

Lalu setelah menjadi dosen, saya baru tau bahwa saya harus S3, kalau bisa di luar negeri. Maka saya rasanya tidak ingin mengulangi lagi kesalahan yang saya lakukan: tidak mengetahui apa yang akan saya jalani. Mulailah saya mencari ke Youtube hihi.

Salah satu yang saya temukan awal-awal adalah video Talent Scouting: Road to PhD di atas. Seperti diungkap di video tersebut, Talent Scouting adalah salah satu program persiapan S3 dari Dirjen Dikti. Program lainnya adalah Bridging Program, Kursus Bahasa Inggris, dll. Silahkan ditonton di video yang paling atas.

Singkat cerita, 2 Video ini membuka wawasan saya. Ada cerita tentang PhD di Jerman, mengenai biaya hidupnya, hubungan dengan supervisornya, liburannya, dll. Lalu ada yang dari Inggris, Amerika, Jepang, dll. Kalau saya tidak salah, hampir semuanya merupakan mantan penerima beasiswa DIKTI, dan semuanya mengkonfirmasi bahwa dananya sekarang sudah lebih baik (ada tunjangan keluarga) dan tidak terlambat dalam transfernya.

Dengan keterbatasan referensi yang saya punya, awalnya saya ingin sekali S3 di New Zealand. Ada beberapa faktor yang membuat saya ingin PhD disana seperti Istri bisa bekerja full-time, sekolah anak gratis, alamnya indah, dan cenderung dekat ke Indonesia. Namun setelah saya pelajari lebih lanjut, ternyata alasan “cenderung dekat ke Indonesia” tidak sepenuhnya benar sebab bisa dibilang Indonesia-New Zealand jaraknya kurang lebih sama dengan Indonesia-Eropa. Ada dua kampus yang masuk wishlist saya, yaitu: Victoria University of Wellington (Wellington) dan Otago University (Dunedin).

Lucunya, sekitar dua minggu setelah saya mulai-mulai cari tau tentang S3 di Luar Negeri, LPPM UT mengadakan acara Road to PhD yang menghadirkan Pak Ary Samsura (PhD di Radboud University, Belanda) dan Mbak Intan (PDEng di Twente University, Belanda). Mohon maaf untuk videonya tidak bisa saya tampilkan karena acaranya internal.

Pada acara itu saya jadi semakin tau bahwa:

  • PhD bukan student, tapi karyawan (di Belanda dan dimana-mana)
  • Ada internal PhD dan external PhD. Internal PhD direkrut dan digaji oleh kampus, dari dana-dana riset yang ada. External PhD membawa dananya sendiri (bs dari beasiswa) untuk menghidupi diri dan risetnya disana.
  • PhD Tourism tidak harus di School of Tourism. Mengingat poin pertama, bahwa PhD tidak di School (tidak ada kelas, hampir 100% riset, jika ada kelas yang dibutuhkan saja). Misal yang diteliti pariwisata yang berhubungan dengan manajemennya maka akan masuk ke Research group/Institute/Research Center Manajemen.
  • PhD adalah proses penempaan seseorang menjad PENELITI INDEPENDEN.
  • PhD tidak bertujuan untuk menghasilkan magnum opus/mahakarya, namun sebagai awal untuk seorang peneliti dianggap sudah dapat melakukan penelitian untuk mengembangkan pengetahuan
  • + Ada juga Professional Doctorate (ex: PDEng). Bedanya, supervisornya terdiri dari 2 orang (1 akademisi, 1 orang industri). Seperti yang diambil oleh Mbak Intan – menghasilkan paten.

Setelah mendengar pemaparan Road to PhD LPPM UT, saya ingat ajakan teman saya Om Awang (Dosen Pariwisata UGM yang sedang PhD di Wageningen University, Belanda): “ayo ning Belanda wae”. Saya kemudian banyak tanya. Ke Om Awang dan Sepupu saya Om Arya yang menikah dengan orang belanda.

Saya juga menemukan blog yang menarik terkait kehidupan disana dari Mas Mega Bagus Herlambang: https://www.megabagus.id/biaya-hidup-membawa-keluarga-di-belanda/ . Banyak artikel yang membahas tentang kehidupan selama S3 di Belanda dan juga terdapat pula vlog-vlognya di Youtube

Namun kemudian saya ingat, bahwa tempat studi, beasiswa, dan supervisor bisa dipikir belakangan. Tugas yang pertama adalah meminta restu keluarga dan orang tua, kemudian menyiapkan bekalnya: Tes IELTS, CV dan Proposal Penelitian (dan dana memberangkatkan keluarga untuk ikut kesana). Maka dari itu, setelah mendapat sedikit-sedikit referensi tentang bagaimana studi S3 di luar negeri itu dan berbekal restu dari orang tua dan keluarga, saatnya sekarang mulai sedikit demi sedikit belajar menjadi “PhD Candidate” sebelum benar-benar nyemplung kesana. Wish me luck!

Saat saya menulis ini, saya baru menjadi dosen sekitar 6 bulan. Mungkin bisa dibilang terlalu muda untuk memikirkan PhD, Asisten Ahli saja belum selesai mengurusnya hehe. Namun saya tidak takut untuk memulai membakar api unggunnya dulu untuk cita-cita ini tetap hangat. Bismillah, Wallahuallam.

Saking serunya dalam “riset” menuju PhD ini, sampai-sampai, semalam saya mengirimkan Proposal Penulisan Buku terkait pengalaman S3 pariwisata di dalam dan luar negeri #isengajadulu

Oya, untuk para pembaca, jika ada masukan, saran, koneksi, dan tanggapan apapun terkait isi dari tulisan saya ini supersilahkan ya. Supersuwun. Siapa tau tulisan ini membuka banyak peluang yang tak terduga.

Pondok Cabe, 1 Maret 2022
Nihan Lanisy

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *